Setting: Musik lembut mengalun dari belakang layar, menciptakan suasana misterius. Layar masih tertutup, sementara sebuah jembatan kecil dengan pegangan di kiri dan kanan membentang dari area penonton hingga ke panggung. Sorotan cahaya merah redup perlahan menyinari panggung. Dari tengah penonton, seorang lelaki berpakaian lusuh melangkah pelan di atas jembatan, membawa lentera bercahaya temaram. Tempo berjalan lambat, namun saat ia berbicara, nadanya sedang. L: Setahun sebelum kepergiannya, jembatan ini rusak parah. Dalam keadaan tubuh yang lemah, ia masih memimpin rapat dengan semangat. Baginya, rapat itu seperti sidang dewan terhormat. Kami, warga sederhana, dianggapnya sebagai anggota dewan. (berhenti sejenak) Tak ada satu keputusan pun yang ia ambil tanpa meminta pendapat kami. Pendapat kami mungkin hanya berdasarkan kebutuhan perut, bukan pikiran panjang. (tersenyum kecil) Tapi ia mendengarkan, selalu mendengarkan. Aku ingat, warga mulai pelan-pelan berdoa untuk kesembuhannya. Bahkan ada yang berbisik, "Biarkan Jumadi hidup selamanya, ya Tuhan." (berhenti sejenak, melanjutkan langkahnya hingga ke panggung) L: Sidang terakhir yang ia pimpin adalah kenangan yang tak pernah terlupakan. (Layar perlahan terbuka, menampilkan panggung dengan suasana rapat desa: meja bertuliskan "Kepala Desa," beberapa kursi, dan minuman untuk peserta rapat. Cahaya panggung semakin terang.) Sidang itu adalah momen terakhir kami bersama pemimpin desa yang luar biasa ini. (L keluar dari panggung, kembali mengenakan baju batik dan peci. Ia duduk di kursi utama di meja depan.) L: Assalamualaikum, warga desa yang saya hormati. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk hadir dalam rapat penting ini. Untuk yang berbeda keyakinan, selamat pagi. Seperti semboyan bangsa kita, meski berbeda, kita tetap bersatu demi membangun desa tercinta. (berhenti sejenak, menarik napas panjang) Saya ingin menyampaikan bahwa jembatan yang menghubungkan desa kita ke desa sebelah perlu segera diperbaiki. Jembatan itu penting karena di desa sebelah terdapat sekolah menengah pertama. Tanpa jembatan itu, anak-anak kita kesulitan untuk pergi ke sekolah. Saya ingin mendengar pendapat dan usulan dari bapak-ibu sekalian mengenai langkah terbaik yang bisa kita ambil. L: (berpindah ke tempat peserta rapat, melepas pecinya, dan mengikat sarung di pinggang.) Saya, Pak Kades, mau kasih saran. Jadi begini, Pak Kades. Di belakang rumah saya ada banyak pohon bambu. Kita bisa pakai bambu itu untuk memperbaiki jembatan. Kalau butuh banyak, ambil saja, tapi jangan terlalu banyak, ya, Pak Kades. Lima batang cukup, soalnya kalau lebih, saya rugi. Tapi kalau mau lebih, ya... (tersenyum malu-malu) bayar, Pak Kades. L: (berpindah tempat duduk lagi, dengan ekspresi jengkel) Huh! Pelit banget tuh orang! Mau nolong (tekanan pada "o"), tapi masih hitung-hitungan! Dasar payah!
Sidang Jembatan
Download naskah drama monolog Sidang Jembatan karya Adhy Pratama